Hingga saat ini hampir sebagian besar produk pangan organik belum disertifikasi. Beberapa perusahaan dan perorangan telah mengajukan sertifikasi, tetapi tidak diberi karena sejumlah syarat tidak dipenuhi pemohon.
Sementara itu, verifikasi lembaga yang memberi sertifikasi juga terhambat oleh perubahan lembaga otoritas kompeten di Departemen Pertanian. Verifikasi diperlukan agar masyarakat percaya dengan lembaga kredibilitas lembaga penjamin pangan organik tersebut.
Direktur Lembaga Penjamin Pertanian Organik Indonesia Agung Prawoto di Bogor, Kamis (1/9), seusai seminar mengenai sertifikasi pangan organik mengatakan, sebanyak 16 perusahaan telah mengajukan untuk mendapat sertifikat produk pertanian organik. Akan tetapi, hingga sekarang enam perusahaan, dari 16 perusahaan yang mengajukan permohonan itu, belum mendapat sertifikat pertanian organik karena tidak memenuhi syarat.
Agung mengatakan, salah satu syarat yang tidak dipenuhi itu adalah soal dokumentasi mengenai usaha pertanian organik itu. Dokumentasi itu antara lain mengenai peta lahan, data jenis tanaman, dan asal benih yang ditanam.
”Umumnya mereka yang mengajukan permohonan tidak siap dengan dokumentasi ini. Padahal kami memperbolehkan data-data yang ada meski hanya satu musim tanam,” kata Agung. Ia menyebutkan, dari laporan yang ada terdapat belasan lembaga penjamin, tetapi kenyataannya hanya dua yang benar-benar beroperasi.
Terhambat perubahan status
Menurut Agung, lembaga yang dipimpinnya tengah mengajukan verifikasi ke Departemen Pertanian melalui Pusat Standarisasi Pertanian (PSP).
Akan tetapi, upaya verifikasi tersebut terhambat karena perubahan status PSP dari yang semula di bawah Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian berpindah ke Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Dengan demikian, upaya verifikasi yang telah diajukan dinyatakan gugur terkait dengan perubahan itu.
Dalam seminar, sejumlah pihak yang hadir mempertanyakan perlunya pengujian laboratorium dalam pencekan pangan organik. Dengan uji lab itu, konsumen mendapat kepastian mengenai kualitas produk tersebut.
Akan tetapi, Agung Prawoto mengatakan, persoalan pengujian untuk pertanian organik lebih ditentukan di lapangan. Pengujian yang dilakukan berdasar proses produksi di lokasi, bukan pada pengujian laboratorium.
”Pengujian laboratorium mulai dari air, tanah, daun, hingga produk sangat mahal. Memang pengujian dengan laboratorium akan lebih meyakinkan, tetapi basis kita pada pengujian proses produksi atau budidaya,” katanya.
Agung mengatakan, pengujian laboratorium akan dilakukan bila ada kecurigaan atau pelanggaran yang dilakukan perusahaan atau perorangan yang telah mendapat sertifikat pertanian organik. Konsumen produk organik berhak melaporkan bila ada kecurigaan atau kemungkinan penyimpangan.
Mengenai hak perusahaan atau perorangan yang telah mendapat sertifikat, Agung menyebutkan, perusahaan atau perorangan boleh mencantumkan label pertanian organik. Pencantuman label berwarna kuning untuk mereka yang baru saja melakukan konversi dari lahan konvensional ke pertanian organik. Sementara untuk label hijau digunakan bagi mereka yang telah melaksanakan pertanian organik.
Sumber: KCM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment