Rudin Barus: Kini Kami dapat Tersenyum Berkat Jeruk Organik
"Sekarang kami para petani organik dapat tersenyum, bahkan tertawa" ungkap Rudin Barus (37 th) membuka percakapan kami di kebun jeruk dan kopi miliknya yang luasnya hanya setengah hektar di Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. "Bila harga jeruk dapat bertahan diangka Rp. 2.000,- per kilogram maka kami sudah untung banyak, apa lagi kalau harganya bisa naik, imbuhnya. Waktu kami masih bertani dengan cara konvensional, walaupun harga jeruk naik tapi kami tetap saja berhutang karena menanggung biaya produksi yang sangat besar."
Rudin Barus sehari-harinya lebih dikenal dengan sebutan Pak Rona. Dalam perhitungannya, dalam satu tahun ia membutuhkan biaya sebesar Rp. 9.700.000,- untuk bertani secara konvensional pada lahannya yang setengah hektar itu. Namun saat ini, setelah ia beralih pada pola pertanian organik, ia hanya butuh biaya sebesar Rp. 2.640.000,- Keuntungan yang ia peroleh berlipat lantaran pengeluaran untuk biaya produksi dapat diminimalisir sekecil mungkin.
"Dulu kami dianggap orang ’gila’ karena bertani dengan cara yang tidak lazim. Tapi kami terus berupaya untuk dapat membuktikan bahwa apa yang kami lakukan merupakan langkah yang baik. Kami percaya bahwa dengan bertani organik, maka akan ada penurunan pengeluaran dalam usaha tani. Sehingga kami tidak perlu lagi berhutang kepada tengkulak dan toko-toko saprodi. Dengan tidak berhutang lagi, kami dapat mempertahankan lahan yang sekarang kami miliki. Kalau sudah begitu, maka kami tidak perlu lagi merambah hutan untuk membuka ladang baru. Bila hutan kami tidak dirambah lagi, pola pertanian yang kami lakukan dapat terus berlanjut karena sebagaian besar bahan untuk obat-obatan dan pestisida nabati ada di dalam hutan. Maka dengan demikian, kami juga bertanggung jawab untuk pelestarian hutan," imbuhnya.
Kini Pak Rona dan kawan-kawannya bahkan menganggap diri mereka sebagai orang-orang ’gila’, singkatan dari Gerakan Insan Lestarikan Alam. Penjelasan pak Rona menjadi masuk akal karena wilayah desanya merupakan satu dari beberapa desa yang terdapat di pinggiran Tahura Bukit Barisan, tepatnya di kawasan Sub DAS Lau Biang. (Sub DAS Lau Biang merupakan salah satu kawasan penting di Hulu DAS Wampu yang airnya terus mengalir ke hilir di Kabupaten Langkat-red).
Ia bersama kelompok masyarakat dari desa-desa di sekitar Tahura Bukit Barisan telah pula melakukan aksi-aksi lapangan untuk pelestarian Tahura Bukit Barisan melalui wadah Forum Konservasi Tahura Bukit Barisan (FKT). Selain mengembangkan pola bertani organik, FKT juga terlibat dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan rehabilitasi lahan serta kampanye konservasi.
(Syafrizaldi, ESP Sumut)
"Sekarang kami para petani organik dapat tersenyum, bahkan tertawa" ungkap Rudin Barus (37 th) membuka percakapan kami di kebun jeruk dan kopi miliknya yang luasnya hanya setengah hektar di Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. "Bila harga jeruk dapat bertahan diangka Rp. 2.000,- per kilogram maka kami sudah untung banyak, apa lagi kalau harganya bisa naik, imbuhnya. Waktu kami masih bertani dengan cara konvensional, walaupun harga jeruk naik tapi kami tetap saja berhutang karena menanggung biaya produksi yang sangat besar."
Rudin Barus sehari-harinya lebih dikenal dengan sebutan Pak Rona. Dalam perhitungannya, dalam satu tahun ia membutuhkan biaya sebesar Rp. 9.700.000,- untuk bertani secara konvensional pada lahannya yang setengah hektar itu. Namun saat ini, setelah ia beralih pada pola pertanian organik, ia hanya butuh biaya sebesar Rp. 2.640.000,- Keuntungan yang ia peroleh berlipat lantaran pengeluaran untuk biaya produksi dapat diminimalisir sekecil mungkin.
"Dulu kami dianggap orang ’gila’ karena bertani dengan cara yang tidak lazim. Tapi kami terus berupaya untuk dapat membuktikan bahwa apa yang kami lakukan merupakan langkah yang baik. Kami percaya bahwa dengan bertani organik, maka akan ada penurunan pengeluaran dalam usaha tani. Sehingga kami tidak perlu lagi berhutang kepada tengkulak dan toko-toko saprodi. Dengan tidak berhutang lagi, kami dapat mempertahankan lahan yang sekarang kami miliki. Kalau sudah begitu, maka kami tidak perlu lagi merambah hutan untuk membuka ladang baru. Bila hutan kami tidak dirambah lagi, pola pertanian yang kami lakukan dapat terus berlanjut karena sebagaian besar bahan untuk obat-obatan dan pestisida nabati ada di dalam hutan. Maka dengan demikian, kami juga bertanggung jawab untuk pelestarian hutan," imbuhnya.
Kini Pak Rona dan kawan-kawannya bahkan menganggap diri mereka sebagai orang-orang ’gila’, singkatan dari Gerakan Insan Lestarikan Alam. Penjelasan pak Rona menjadi masuk akal karena wilayah desanya merupakan satu dari beberapa desa yang terdapat di pinggiran Tahura Bukit Barisan, tepatnya di kawasan Sub DAS Lau Biang. (Sub DAS Lau Biang merupakan salah satu kawasan penting di Hulu DAS Wampu yang airnya terus mengalir ke hilir di Kabupaten Langkat-red).
Ia bersama kelompok masyarakat dari desa-desa di sekitar Tahura Bukit Barisan telah pula melakukan aksi-aksi lapangan untuk pelestarian Tahura Bukit Barisan melalui wadah Forum Konservasi Tahura Bukit Barisan (FKT). Selain mengembangkan pola bertani organik, FKT juga terlibat dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan rehabilitasi lahan serta kampanye konservasi.
(Syafrizaldi, ESP Sumut)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment