Pupuk NPK Organik Cap Rumpun Bambu

Pupuk NPK Organik Cap Rumpun Bambu
Produksi KSU Karya Bangsa Berdikari

Sampel Pupuk

Sampel Pupuk
Sampel pupuk kemasan 50 kg

Sampel Pupuk

Sampel Pupuk
Bentuk tabur, Warna hitam kecoklat coklatan

21 November 2009

Pupuk Organik Lebih Produktif dan Ramah Lingkungan

Penggunaan pupuk ANORGANIK tak selamanya menguntungkan. Bahkan bisa jadi malah merugikan petani. Setidaknya itulah yang dialami petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Berpuluh-puluh tahun mereka menggunakan pupuk anorganik, seperti urea, KCl, dan TSP. Dalam rentang waktu sepanjang itu, atas perintah para penyuluh pertanian, petani terus memacu produktivitas komoditas pertanian melalui penggunaan pupuk anorganik secara intensif.

Dampaknya, kini tanah mereka kian mengeras. Struktur dan tekstur tanahnya pun tidak lagi segembur dahulu, sebelum mereka menggunakan pupuk anorganik.

Jauh sebelum pupuk anorganik beredar di pasaran, petani sudah terbiasa menggunakan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, jerami, atau limbah pertanian tanaman. Namun kebiasaan petani yang kini menggarap sawah seluas 50.685 hektare ini tak dilanjutkan ketika pupuk anorganik dipromosikan sebagai penyelamat produktivitas mereka.

Sekilas memang, produktivitas panen meningkat. Namun lama kelamaan, penggunaan pupuk pabrik atau anorganik berdampak negatif pada tanah. "Pupuk tersebut membuat tanah menjadi keras dan struktur menjadi jelek," ujar Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, Ir Marsudi Hadiwiyanto kepada Pembaruan pekan lalu.

Jika hal itu dibiarkan maka bukan tidak mungkin penghasilan produksi pertanian di Bantul yang saat ini telah mencapai 5,89 ton per hektar dalam bentuk Gabah Kering Pungut (GKP) akan menurun. Padahal tahun 2005 produksi padi di Bantul diharapkan bisa meningkat hingga 7,5 ton per hektar GKP. "Hal ini wajar karena sekitar 57 persen masyarakat Bantul bergerak di sektor pertanian," jelas Marsudi.


Mengembalikan Kesuburan

Atas dasar itu, pihaknya menyerukan petani untuk menggunakan pupuk organik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ternyata penggunaan pupuk organik sangat baik untuk mengembalikan kesuburan tanah. "Kini petani kami sedang kembali beralih pada penggunaan pupuk organik," ujarnya.

Petani boleh lega. Sebab, Bupati Bantul Idham Samawi juga sepakat menggalakkan penggunaan pupuk berimbang yang terdiri dari campuran pupuk organik dan anorganik.

Bahkan, ada rencana dikeluarkannya larangan untuk menjual pupuk kandang ke luar wilayah Bantul. Hal itu demi menjaga agar kebutuhan pupuk kandang petani di sana dapat terpenuhi.

Sebelumnya pupuk organik justru banyak dijual ke daerah lain seperti Wonosobo, Temanggung, atau daerah-daerah penghasil tembakau dan sayuran. Konsekuensinya, Pemda akan membeli pupuk organik dari masyarakat lokal sesuai harga pasar.

Menurut Marsudi, saat ini telah terdapat beberapa kelompok petani di Bantul yang memproduksi pupuk organik dengan dikelola oleh sejenis paguyuban petani. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas tanah, pihaknya juga kembali menggerakkan kesadaran masyarakat untuk menanam oro-oro yang diyakni dapat membantu mengembalikan kesuburan tanah.

Dilihat dari segi ekonomi, penggunaan pupuk organik lebih murah ketimbang anorganik. Menurut Ketua Kelompok Tani Luwes Dusun Kepek Timbul, Desa Harjo, Bantul, Paijan, sebelumnya petani mengeluarkan sekitar Rp 89 ribu untuk membeli pupuk anorganik setiap sekali tanam dalam seribu meter persegi sawah.

Kini mereka cukup membeli pupuk organik beserta anorganik sebagai campurannya sebanyak Rp 90 ribu dan untuk dua kali masa tanam. Tentu saja hal ini dapat membantu memangkas biaya produksi.


Layak Dicontoh

Bantul memang layak dijadikan contoh bagi petani di daerah lainnya. Selain sudah mulai menerapkan penggunaan pupuk yang ramah lingkungan dan bisa diproduksi sendiri oleh masyarakatnya, Pemda pun ikut turun tangan dalam membenahi pascapanen.

"Untuk mencegah anjloknya harga komoditas pertanian, Pemda menyiapkan dana sekitar Rp 3,5 miliar untuk membeli produksi pertanian di Bantul. "Dana tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk membeli padi tetapi juga jagung, kedelai, kacang tanah, cabe, tembakau, dan ketela pohon," urainya.

Strategi tersebut telah diterapkan di Bantul sejak 2001 lalu, di mana tersedia dana sebesar Rp 1 miliar untuk membeli sekitar 18 ton padi milik petani.

"Kami juga pernah membantu mendongkrak harga cabe di Bantul yang anjlok dari sekitar Rp 800-1.000 per kg menjadi Rp 1.500 - 2.000 per kg. Ketika itu kami membeli 44 ton cabe dan menjualnya ke pedagang di Jakarta dan Bandung. Cara ini sangat efektif mendongkrak harga cabe," ujar Marsudi.


Pengadaan Benih

Melihat sentra produksi Bantul, juga terlihat pemandangan menarik. Di beberapa serambi depan rumah, tampak bawang merah tergantung. "Itu dilakukan untuk menyiapkan benih bawang varietas tiron," kata Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan Provinsi DIY Dr Ir Achmad Kasiyani MSc.

Bawang ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan jenis bawang lokal lainnnya. Di antaranya tingkat produktivitas yang lebih tingi (rata-rata dapat mencapai 25 - 30 ton). Sementara produksi bawang lokal lain rata-rata hanya mencapai 11 - 13 ton. Selain itu jenis bawang tiron juga lebih tahan pada genangan air sehingga relatif lebih tahan terhadap serangan hama penyakit.

Bawang tiron itu sendiri awalnya dikembangkan oleh seorang petani bernama Tiron yang tinggal di kawasan Selatan, Kecamatan Pandaan, Klaten. Selanjutnya mutu bawang diuji di laboratorium Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Bawang tiron juga dapat tumbuh di beberapa daerah lain, seperti Ponorogo, Wonosari, Lampung, dan lain-lain. "Karena keunggulannya itu bawang tiron pun menjadi bawang unggulan nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian per 21 Juli 2002," jelas Kasiyani.

Untuk membantu pengembangan bawang tiron, kata Marsudi, Pemda menyiapkan benih bawang tiron hingga 22,5 ton dan siap untuk dijual ke masyarakat. Bupati Bantul juga telah menyiapkan dana sebesar
Rp 1 miliar untuk pembangunan gudang bawang merah.

No comments: